Hai, maaf kepada diriku sendiri. Terjemahan The Bet Bagian II ternyata harus diundur karena satu dan lain hal. Oke, langsung saja, ya.
Bagian II
The old banker remembered all this, and thought:
Si bankir tua mengingat semuanya dan berpikir:
“Tomorrow at twelve o’clock he will regain his freedom. By our agreement I ought to pay him two millions. If I do pay him, it is all over with me: I shall be utterly ruined.”
“Besok tepat jam dua belas siang, ia akan mendapatkan kebebasannya. Berdasarkan perjanjian, aku harus membayarnya dua juta. Jika aku melakukannya, semuanya berakhir bagiku: aku akan hancur.”
Fifteen years before, his millions had been beyond his reckoning; now he was afraid to ask himself which were greater, his debts or his assets. Desperate gambling on the Stock Exchange, wild speculation and the excitability which he could not get over even in advancing years, had by degrees led to the decline of his fortune and the proud, fearless, self-confident millionaire had become a banker of middling rank, trembling at every rise and fall in his investments. “Cursed bet!” muttered the old man, clutching his head in despair. “Why didn’t the man die? He is only forty now. He will take my last penny from me, he will marry, will enjoy life, will gamble on the Exchange; while I shall look at him with envy like a beggar, and hear from him every day the same sentence: ‘I am indebted to you for the happiness of my life, let me help you!’ No, it is too much! The one means of being saved from bankruptcy and disgrace is the death of that man!”
Lima belas tahun lalu, hartanya tak terhitung jumlahnya; sekarang ia takut bertanya kepada dirinya sendiri apakah yang lebih besar, utangnya atau hartanya. Perjudian menyedihkan di Bursa Saham, spekulasi liar dan mendebarkan yang tak bisa ia lupakan bahkan hingga beberapa waktu kemudian menyebabkan kekayaannya merosot serta menjadikan seorang jutawan angkuh, percaya diri dan tidak takut apapun menjelma menjadi seorang bankir kelas menengah yang gemetar akibat setiap investasinya yang naik turun. “Petaruhan terkutuk!” gerutunya sambil menggenggam kepala dengan putus asa. “Mengapa lelaki itu tidak mati? Ia baru berumur empat puluh sekarang. Ia akan merampas sisa-sisa uangku, ia akan menikah, menikmati hidup, bertaruh di bursa; sementara aku akan memandangnya dengan iri seperti pengemis, mendengarnya setiap hari dengan kalimat yang sama: ‘Aku berutang kebahagiaanku padamu, biarkan aku membantumu!’ Tidak, itu berlebihan! Satu-satunya cara selamat dari kebangkrutan dan aib adalah dengan kematian lelaki itu!”
It struck three o’clock, the banker listened; everyone was asleep in the house and nothing could be heard outside but the rustling of the chilled trees. Trying to make no noise, he took from a fireproof safe the key of the door which had not been opened for fifteen years, put on his overcoat, and went out of the house.
Dentang jam menunjukkan pukul tiga dini hari, si bankir mendengarkan; semua orang tertidur di rumah dan tidak ada yang bisa didengar dari luar melainkan gerisik ranting pepohonan. Diam-diam, Ia mengambil kunci pintu yang tak pernah dibuka selama lima belas tahun dari brankas tahan api, menyimpannya di mantel, dan keluar dari rumah.
It was dark and cold in the garden. Rain was falling. A damp cutting wind was racing about the garden, howling and giving the trees no rest. The banker strained his eyes, but could see neither the earth nor the white statues, nor the lodge, nor the trees. Going to the spot where the lodge stood, he twice called the watchman. No answer followed. Evidently the watchman had sought shelter from the weather, and was now asleep somewhere either in the kitchen or in the greenhouse.
Saat itu dingin dan gelap di taman. Hujan turun. Angin lembab yang menusuk berpacu di sekitar taman, menderu dan menghantam pepohonan. Si bankir menajamkan pandangan, namun ia tidak bisa melihat tanah, patung-patuh putih, pondok, maupun pohon. Ia mendekati pondok dan memanggil si penjaga dua kali. Tidak ada jawaban. Rupanya si penjaga mencari tempat berlindung dari cuaca ini dan tertidur di suatu tempat di dapur atau di rumah kaca.
“If I had the pluck to carry out my intention,” thought the old man, “Suspicion would fall first upon the watchman.”
“Jika aku memiliki keberanian untuk melaksanakan rencanaku,” pikir si lelaki tua, “Kecurigaan pertama kali akan terarah pada si penjaga.”
He felt in the darkness for the steps and the door, and went into the entry of the lodge. Then he groped his way into a little passage and lighted a match. There was not a soul there. There was a bedstead with no bedding on it, and in the corner there was a dark cast-iron stove. The seals on the door leading to the prisoner’s rooms were intact.
Ia merasakan kegelapan menyertai langkahnya dan juga pintu itu. Ia melangkah menuju jalan masuk pondok dan meraba-raba dinding menuju sebuah ruangan kecil dan menyalakan korek api. Tidak ada seorangpun di sana. Ada tempat tidur yang tidak berkasur, dan di sudut ruangan terdapat kompor besi warna hitam. Segel di pintu membawanya ke ruangan si tawanan masih terlihat utuh.
When the match went out the old man, trembling with emotion, peeped through the little window. A candle was burning dimly in the prisoner’s room. He was sitting at the table. Nothing could be seen but his back, the hair on his head, and his hands. Open books were lying on the table, on the two easy-chairs, and on the carpet near the table.
Ketika korek api tersebut padam, lelaki tua itu mengintip lewat jendela kecil, gemetar penuh emosi. Sebuah lilin bercahaya remang-remang di kamar itu. Si tawanan duduk di meja. Tidak ada yang bisa dilihat selain punggungnya, rambutnya, dan tangannya. Buku-buku terbuka terhampar di atas meja, di atas dua kursi malas, dan di atas karpet dekat meja.
Five minutes passed and the prisoner did not once stir. Fifteen years’ imprisonment had taught him to sit still. The banker tapped at the window with his finger, and the prisoner made no movement whatever in response. Then the banker cautiously broke the seals off the door and put the key in the keyhole. The rusty lock gave a grating sound and the door creaked. The banker expected to hear at once footsteps and a cry of astonishment, but three minutes passed and it was as quiet as ever in the room. He made up his mind to go in.
Lima menit berlalu dan si tawanan masih belum bergerak. Lima belas tahun dikurung telah mengajarkannya untuk duduk tak bergeming. Si bankir mengetuk jendela dengan jarinya, dan si tawanan tetap tak bergerak. Kemudian si bankir membuka segel pintu itu dengan hati-hati dan menaruh kunci pada lubang kunci. Kunci berkarat itu menghasilkan suara berisik dan pintu berderit. Ia mengira akan mendengar langkah kaki dan teriakan penuh rasa takjub, namun tiga menit berlalu dan ruangan itu tetap sunyi. Ia akhirnya memutuskan untuk masuk ke kamar si tawanan.
At the table a man unlike ordinary people was sitting motionless. He was a skeleton with the skin drawn tight over his bones, with long curls like a woman’s and a shaggy beard. His face was yellow with an earthy tint in it, his cheeks were hollow, his back long and narrow, and the hand on which his shaggy head was propped was so thin and delicate that it was dreadful to look at it. His hair was already streaked with silver, and seeing his emaciated, aged-looking face, no one would have believed that he was only forty. He was asleep. . . . In front of his bowed head there lay on the table a sheet of paper on which there was something written in fine handwriting.
Di meja itu, seorang lelaki yang berbeda dari manusia kebanyakan, duduk tak bergerak. Ia adalah kerangka berbalut kulit yang melekat di seluruh tulangnya, dengan rambut keriting seperti perempuan dan janggut berambut kasar. Wajahnya kekuningan dengan rona bersahaja, pipinya cekung, punggungnya panjang dan kurus, dan tangan yang menopang rambut lebatnya sangat kurus dan rapuh sehingga tampak mengerikan. Rambutnya sudah disisipi helai-helai keperakan, dan jika melihat wajahnya yang dimakan usia, tak akan ada yang percaya ia baru berumur empat puluh. Ia tertidur…Di hadapan kepalanya yang tertunduk, terdapat sehelai kertas yang bertuliskan sesuatu dengan tulisan yang rapi.
“Poor creature!” thought the banker, “he is asleep and most likely dreaming of the millions. And I have only to take this half-dead man, throw him on the bed, stifle him a little with the pillow, and the most conscientious expert would find no sign of a violent death. But let us first read what he has written here. . . .”
“Makhluk yang malang!” pikir si bankir, “ia tertidur dan kemungkinan bermimpi tentang uang itu. Dan aku hanya akan melempar lelaki sekarat ini ke tempat tidurnya, membungkamnya dengan bantal, dan ahli yang paling cermatpun tidak akan menemukan tanda-tanda kematian. Tapi, coba kita baca dulu apa yang ditulisnya…”
The banker took the page from the table and read as follows:
Si bankir mengambil kertas itu dari meja dan membacanya:
“Tomorrow at twelve o’clock I regain my freedom and the right to associate with other men, but before I leave this room and see the sunshine, I think it necessary to say a few words to you. With a clear conscience I tell you, as before God, who beholds me, that I despise freedom and life and health, and all that in your books is called the good things of the world.
“Besok, jam dua belas siang, aku akan mendapatkan kembali kebebasanku dan hak untuk berkumpul dengan teman-temanku, tapi sebelum meninggalkan ruangan ini dan melihat matahari, penting bagiku untuk mengatakan beberapa kalimat padamu. Dengan hati nuraniku, dan Tuhan yang menyaksikanku, aku menyatakan bahwa aku membenci kebebasan dan hidup dan kesehatan, dan semua yang dalam kamusmu kau sebut sebagai hal-hal baik di dunia.
“For fifteen years I have been intently studying earthly life. It is true I have not seen the earth nor men, but in your books I have drunk fragrant wine, I have sung songs, I have hunted stags and wild boars in the forests, have loved women. . . . Beauties as ethereal as clouds, created by the magic of your poets and geniuses, have visited me at night, and have whispered in my ears wonderful tales that have set my brain in a whirl. In your books I have climbed to the peaks of Elburz and Mont Blanc, and from there I have seen the sun rise and have watched it at evening flood the sky, the ocean, and the mountain-tops with gold and crimson. I have watched from there the lightning flashing over my head and cleaving the storm-clouds. I have seen green forests, fields, rivers, lakes, towns. I have heard the singing of the sirens, and the strains of the shepherds’ pipes; I have touched the wings of comely devils who flew down to converse with me of God. . . . In your books I have flung myself into the bottomless pit, performed miracles, slain, burned towns, preached new religions, conquered whole kingdoms. . . .
“Selama lima belas tahun aku telah mempelajari kehidupan yang sederhana. Benar adanya bahwa aku tidak bisa melihat bumi dan manusia, namun di buku-bukumu aku telah meneguk anggur yang memabukkan, menyanyikan lagu-lagu, berburu rusa dan babi liar di hutan, mencintai wanita…Keindahan selembut awan, yang tercipta oleh para penyair dan manusia jenius, mendatangiku pada malam hari, dan membisikkan di telingaku kisah-kisah luar biasa yang memutar otakku. Dalam buku-bukumu, aku mendaki puncak Elburz dan Mont Blanc, dan dari sana aku melihat matahari terbit dan menyaksikannya membanjiri angkasa sore hari, lautan, dan puncak-puncak pegunungan dengan warna emas dan lembayung. Dari sana aku melihat petir mengerjap di atas kepalaku dan membelah awan badai. Aku telah melihat berbagai hutan hijau, padang, sungai, danau, kota. Aku telah mendengar nyanyian peri laut, alunan suling para gembala; Aku telah menyentuh sayap setan rupawan yang turun unruk berbincang denganku mengenai Tuhan…Di buku-bukumu aku melemparkan diri ke dasar jurang, melakukan keajaiban, terbunuh, membakar kota-kota, mengajarkan agama-agama baru, menaklukkan seluruh kerajaan…
“Your books have given me wisdom. All that the unresting thought of man has created in the ages is compressed into a small compass in my brain. I know that I am wiser than all of you.
“Buku-bukumu telah memberikanku kebijaksanaan. Semua pemikiran tak teratur yang diciptakan manusia selama bertahun-tahun telah dimampatkan ke dalam kompas kecil di otakku. Aku tahu bahwa sekarang aku lebih arif dibandingkan kalian semua.
“And I despise your books, I despise wisdom and the blessings of this world. It is all worthless, fleeting, illusory, and deceptive, like a mirage. You may be proud, wise, and fine, but death will wipe you off the face of the earth as though you were no more than mice burrowing under the floor, and your posterity, your history, your immortal geniuses will burn or freeze together with the earthly globe.
“Dan aku membenci buku-bukumu, kebijaksanaan dan berkah di dunia ini. Semua ini tak berguna, fana, penuh ilusi, dan menipu, seperti fatamorgana. Kau mungkin merasa bangga, bijak, dan baik, namun kematian akan menghapusmu dari permukaan bumi seakan kau tidak lebih dari tikus yang menggali lubang di lantai, dan semua anak cucumu, sejarahmu, para manusia jenius yang kekal akan terbakar atau membeku bersama seluruh dunia.
“You have lost your reason and taken the wrong path. You have taken lies for truth, and hideousness for beauty. You would marvel if, owing to strange events of some sorts, frogs and lizards suddenly grew on apple and orange trees instead of fruit, or if roses began to smell like a sweating horse; so I marvel at you who exchange heaven for earth. I don’t want to understand you.
“Kau telah kehilangan alasan dan mengambil jalan yang keliru. Kau lebih memilih kebohongan di atas kebenaran, dan keburukan di atas keindahan. Kau akan takjub jika karena suatu kejadian aneh, katak dan kadal akan tumbuh dari pohon apel dan jeruk, mereka tak menghasilkan buah. Atau jika mawar mulai beraroma kuda berkeringat; oleh karena itu aku takjub padamu yang menukar surga demi bumi. Aku tidak ingin memahamimu.
“To prove to you in action how I despise all that you live by, I renounce the two millions of which I once dreamed as of paradise and which now I despise. To deprive myself of the right to the money I shall go out from here five hours before the time fixed, and so break the compact. . . .”
“Untuk membuktikan kepadamu secara nyata bahwa aku membenci semua yang kau jalani dalam hidup , aku melepaskan dua juta yang pernah kuimpikan laiknya surga dan sekarang aku anggap rendah. Untuk menjauhkan diri dari hakku akan uang tersebut, aku akan pergi dari sini lima jam sebelum waktu yang ditentukan dan memutuskan perjanjian kita…”
When the banker had read this he laid the page on the table, kissed the strange man on the head, and went out of the lodge, weeping. At no other time, even when he had lost heavily on the Stock Exchange, had he felt so great a contempt for himself. When he got home he lay on his bed, but his tears and emotion kept him for hours from sleeping.
Setelah si bankir selesai membaca, ia meletakkan kertas itu di atas meja, mengecup kepala lelaki aneh itu, dan beranjak dari pondok sambil menangis. Tidak pernah ia merasakan kebencian besar pada dirinya sendiri seperti saat ini, tidak pula saat ia kehilangan begitu banyak di Bursa Saham. Ketika sampai di rumah ia berbaring di tempat tidur, namun air mata dan emosi menahannya berjam-jam dari tidur.
Next morning the watchmen ran in with pale faces, and told him they had seen the man who lived in the lodge climb out of the window into the garden, go to the gate, and disappear. The banker went at once with the servants to the lodge and made sure of the flight of his prisoner. To avoid arousing unnecessary talk, he took from the table the writing in which the millions were renounced, and when he got home locked it up in the fireproof safe.
Keesokan pagi, si penjaga berlari ke ruangan si bankir dengan muka pucat, dan mengabarkan bahwa mereka telah melihat lelaki yang hidup di pondok melompat dari jendela ke taman, menuju pagar, dan menghilang. Si bankir bersama dengan pembantunya mengunjungi pondok tersebut dan memastikan kepergian si tawanan. Untuk menghindari pembicaraan yang tak berguna, ia mengambil tulisan lelaki itu dari meja yang menyatakan melepaskan uang dua jutanya, dan setelah kembali ke rumah, ia mengunci benda tersebut di brankas tahan api.
Jadi menurut teman-teman, siapakah sesungguhnya pemenang taruhan tersebut? 🙂
Sesungguhnya aku agak ragu menerjemahkan “pluck” di paragraf kedua dengan “keberanian”. Pluck menurut kamus Merriam Webster memiliki beberapa pengertian. Jika dihubungkan dengan konteks kalimat pada paragraf tersebut, sepertinya si bankir menginginkan sesuatu dalam rencananya agar kecurigaan tidak jatuh kepadanya, tapi pada si penjaga. Sesuatu inilah “pluck” tersebut. Jika ada yang ingin mengkoreksiku atau memberi saran terjemahan apa yang harus kupakai untuk mengartikan “pluck” di sini, jangan ragu untuk komen 🙂