Diposkan pada Cerpen, Terjemahan

The Bet (Pertaruhan) oleh Anton Chekov – Bagian II

Hai, maaf kepada diriku sendiri. Terjemahan The Bet Bagian II ternyata harus diundur karena satu dan lain hal. Oke, langsung saja, ya.

Bagian II

The old banker remembered all this, and thought:

Si bankir tua mengingat semuanya dan berpikir:

“Tomorrow at twelve o’clock he will regain his freedom. By our agreement I ought to pay him two millions. If I do pay him, it is all over with me: I shall be utterly ruined.”

“Besok tepat jam dua belas siang, ia akan mendapatkan kebebasannya. Berdasarkan perjanjian, aku harus membayarnya dua juta. Jika aku melakukannya, semuanya berakhir bagiku: aku akan hancur.”

Fifteen years before, his millions had been beyond his reckoning; now he was afraid to ask himself which were greater, his debts or his assets. Desperate gambling on the Stock Exchange, wild speculation and the excitability which he could not get over even in advancing years, had by degrees led to the decline of his fortune and the proud, fearless, self-confident millionaire had become a banker of middling rank, trembling at every rise and fall in his investments. “Cursed bet!” muttered the old man, clutching his head in despair. “Why didn’t the man die? He is only forty now. He will take my last penny from me, he will marry, will enjoy life, will gamble on the Exchange; while I shall look at him with envy like a beggar, and hear from him every day the same sentence: ‘I am indebted to you for the happiness of my life, let me help you!’ No, it is too much! The one means of being saved from bankruptcy and disgrace is the death of that man!”

Lima belas tahun lalu, hartanya tak terhitung jumlahnya; sekarang ia takut bertanya kepada dirinya sendiri apakah yang lebih besar, utangnya atau hartanya. Perjudian menyedihkan di Bursa Saham, spekulasi liar dan mendebarkan yang tak bisa ia lupakan bahkan hingga beberapa waktu kemudian menyebabkan kekayaannya merosot serta menjadikan seorang jutawan angkuh, percaya diri dan tidak takut apapun menjelma menjadi seorang bankir kelas menengah yang gemetar akibat setiap investasinya yang naik turun. “Petaruhan terkutuk!” gerutunya sambil menggenggam kepala dengan putus asa. “Mengapa lelaki itu tidak mati? Ia baru berumur empat puluh sekarang. Ia akan merampas sisa-sisa uangku, ia akan menikah, menikmati hidup, bertaruh di bursa; sementara aku akan memandangnya dengan iri seperti pengemis, mendengarnya setiap hari dengan kalimat yang sama: ‘Aku berutang kebahagiaanku padamu, biarkan aku membantumu!’ Tidak, itu berlebihan! Satu-satunya cara selamat dari kebangkrutan dan aib adalah dengan kematian lelaki itu!”

It struck three o’clock, the banker listened; everyone was asleep in the house and nothing could be heard outside but the rustling of the chilled trees. Trying to make no noise, he took from a fireproof safe the key of the door which had not been opened for fifteen years, put on his overcoat, and went out of the house.

Dentang jam menunjukkan pukul tiga dini hari, si bankir mendengarkan; semua orang tertidur di rumah dan tidak ada yang bisa didengar dari luar melainkan gerisik ranting pepohonan. Diam-diam, Ia mengambil kunci pintu yang tak pernah dibuka selama lima belas tahun dari brankas tahan api, menyimpannya di mantel, dan keluar dari rumah.

It was dark and cold in the garden. Rain was falling. A damp cutting wind was racing about the garden, howling and giving the trees no rest. The banker strained his eyes, but could see neither the earth nor the white statues, nor the lodge, nor the trees. Going to the spot where the lodge stood, he twice called the watchman. No answer followed. Evidently the watchman had sought shelter from the weather, and was now asleep somewhere either in the kitchen or in the greenhouse.

Saat itu dingin dan gelap di taman. Hujan turun. Angin lembab yang menusuk berpacu di sekitar taman, menderu dan menghantam pepohonan. Si bankir menajamkan pandangan, namun ia tidak bisa melihat tanah, patung-patuh putih, pondok, maupun pohon. Ia mendekati pondok dan memanggil si penjaga dua kali. Tidak ada jawaban. Rupanya si penjaga mencari tempat berlindung dari cuaca ini dan tertidur di suatu tempat di dapur atau di rumah kaca.

“If I had the pluck to carry out my intention,” thought the old man, “Suspicion would fall first upon the watchman.”

“Jika aku memiliki keberanian untuk melaksanakan rencanaku,” pikir si lelaki tua, “Kecurigaan pertama kali akan terarah pada si penjaga.”

He felt in the darkness for the steps and the door, and went into the entry of the lodge. Then he groped his way into a little passage and lighted a match. There was not a soul there. There was a bedstead with no bedding on it, and in the corner there was a dark cast-iron stove. The seals on the door leading to the prisoner’s rooms were intact.

Ia merasakan kegelapan menyertai langkahnya dan juga pintu itu. Ia melangkah menuju jalan masuk pondok dan meraba-raba dinding menuju sebuah ruangan kecil dan menyalakan korek api. Tidak ada seorangpun di sana. Ada tempat tidur yang tidak berkasur, dan di sudut ruangan terdapat kompor besi warna hitam. Segel di pintu membawanya ke ruangan si tawanan masih terlihat utuh.

When the match went out the old man, trembling with emotion, peeped through the little window. A candle was burning dimly in the prisoner’s room. He was sitting at the table. Nothing could be seen but his back, the hair on his head, and his hands. Open books were lying on the table, on the two easy-chairs, and on the carpet near the table.

Ketika korek api tersebut padam, lelaki tua itu mengintip lewat jendela kecil, gemetar penuh emosi. Sebuah lilin bercahaya remang-remang di kamar itu. Si tawanan duduk di meja. Tidak ada yang bisa dilihat selain punggungnya, rambutnya, dan tangannya. Buku-buku terbuka terhampar di atas meja, di atas dua kursi malas, dan di atas karpet dekat meja.

Five minutes passed and the prisoner did not once stir. Fifteen years’ imprisonment had taught him to sit still. The banker tapped at the window with his finger, and the prisoner made no movement whatever in response. Then the banker cautiously broke the seals off the door and put the key in the keyhole. The rusty lock gave a grating sound and the door creaked. The banker expected to hear at once footsteps and a cry of astonishment, but three minutes passed and it was as quiet as ever in the room. He made up his mind to go in.

Lima menit berlalu dan si tawanan masih belum bergerak. Lima belas tahun dikurung telah mengajarkannya untuk duduk tak bergeming. Si bankir mengetuk jendela dengan jarinya, dan si tawanan tetap tak bergerak. Kemudian si bankir membuka segel pintu itu dengan hati-hati dan menaruh kunci pada lubang kunci. Kunci berkarat itu menghasilkan suara berisik dan pintu berderit. Ia mengira akan mendengar langkah kaki dan teriakan penuh rasa takjub, namun tiga menit berlalu dan ruangan itu tetap sunyi. Ia akhirnya memutuskan untuk masuk ke kamar si tawanan.

At the table a man unlike ordinary people was sitting motionless. He was a skeleton with the skin drawn tight over his bones, with long curls like a woman’s and a shaggy beard. His face was yellow with an earthy tint in it, his cheeks were hollow, his back long and narrow, and the hand on which his shaggy head was propped was so thin and delicate that it was dreadful to look at it. His hair was already streaked with silver, and seeing his emaciated, aged-looking face, no one would have believed that he was only forty. He was asleep. . . . In front of his bowed head there lay on the table a sheet of paper on which there was something written in fine handwriting.

Di meja itu, seorang lelaki yang berbeda dari manusia kebanyakan, duduk tak bergerak. Ia adalah kerangka berbalut kulit yang melekat di seluruh tulangnya, dengan rambut keriting seperti perempuan dan janggut berambut kasar. Wajahnya kekuningan dengan rona bersahaja, pipinya cekung, punggungnya panjang dan kurus, dan tangan yang menopang rambut lebatnya sangat kurus dan rapuh sehingga tampak mengerikan. Rambutnya sudah disisipi helai-helai keperakan, dan jika melihat wajahnya yang dimakan usia, tak akan ada yang percaya ia baru berumur empat puluh. Ia tertidur…Di hadapan kepalanya yang tertunduk, terdapat sehelai kertas yang bertuliskan sesuatu dengan tulisan yang rapi.

“Poor creature!” thought the banker, “he is asleep and most likely dreaming of the millions. And I have only to take this half-dead man, throw him on the bed, stifle him a little with the pillow, and the most conscientious expert would find no sign of a violent death. But let us first read what he has written here. . . .”

“Makhluk yang malang!” pikir si bankir, “ia tertidur dan kemungkinan bermimpi tentang uang itu. Dan aku hanya akan melempar lelaki sekarat ini ke tempat tidurnya, membungkamnya dengan bantal, dan ahli yang paling cermatpun tidak akan menemukan tanda-tanda kematian. Tapi, coba kita baca dulu apa yang ditulisnya…”

The banker took the page from the table and read as follows:

Si bankir mengambil kertas itu dari meja dan membacanya:

“Tomorrow at twelve o’clock I regain my freedom and the right to associate with other men, but before I leave this room and see the sunshine, I think it necessary to say a few words to you. With a clear conscience I tell you, as before God, who beholds me, that I despise freedom and life and health, and all that in your books is called the good things of the world.

“Besok, jam dua belas siang, aku akan mendapatkan kembali kebebasanku dan hak untuk berkumpul dengan teman-temanku, tapi sebelum meninggalkan ruangan ini dan melihat matahari, penting bagiku untuk mengatakan beberapa kalimat padamu. Dengan hati nuraniku, dan Tuhan yang menyaksikanku, aku menyatakan bahwa aku membenci kebebasan dan hidup dan kesehatan, dan semua yang dalam kamusmu kau sebut sebagai hal-hal baik di dunia.

“For fifteen years I have been intently studying earthly life. It is true I have not seen the earth nor men, but in your books I have drunk fragrant wine, I have sung songs, I have hunted stags and wild boars in the forests, have loved women. . . . Beauties as ethereal as clouds, created by the magic of your poets and geniuses, have visited me at night, and have whispered in my ears wonderful tales that have set my brain in a whirl. In your books I have climbed to the peaks of Elburz and Mont Blanc, and from there I have seen the sun rise and have watched it at evening flood the sky, the ocean, and the mountain-tops with gold and crimson. I have watched from there the lightning flashing over my head and cleaving the storm-clouds. I have seen green forests, fields, rivers, lakes, towns. I have heard the singing of the sirens, and the strains of the shepherds’ pipes; I have touched the wings of comely devils who flew down to converse with me of God. . . . In your books I have flung myself into the bottomless pit, performed miracles, slain, burned towns, preached new religions, conquered whole kingdoms. . . .

“Selama lima belas tahun aku telah mempelajari kehidupan yang sederhana. Benar adanya bahwa aku tidak bisa melihat bumi dan manusia, namun di buku-bukumu aku telah meneguk anggur yang memabukkan, menyanyikan lagu-lagu, berburu rusa dan babi liar di hutan, mencintai wanita…Keindahan selembut awan, yang tercipta oleh para penyair dan manusia jenius, mendatangiku pada malam hari, dan membisikkan di telingaku kisah-kisah luar biasa yang memutar otakku. Dalam buku-bukumu, aku mendaki puncak Elburz dan Mont Blanc, dan dari sana aku melihat matahari terbit dan menyaksikannya membanjiri angkasa sore hari, lautan, dan puncak-puncak pegunungan dengan warna emas dan lembayung. Dari sana aku melihat petir mengerjap di atas kepalaku dan membelah awan badai. Aku telah melihat berbagai hutan hijau, padang, sungai, danau, kota. Aku telah mendengar nyanyian peri laut, alunan suling para gembala; Aku telah menyentuh sayap setan rupawan yang turun unruk berbincang denganku mengenai Tuhan…Di buku-bukumu aku melemparkan diri ke dasar jurang, melakukan keajaiban, terbunuh, membakar kota-kota, mengajarkan agama-agama baru, menaklukkan seluruh kerajaan…

“Your books have given me wisdom. All that the unresting thought of man has created in the ages is compressed into a small compass in my brain. I know that I am wiser than all of you.

“Buku-bukumu telah memberikanku kebijaksanaan. Semua pemikiran tak teratur yang diciptakan manusia selama bertahun-tahun telah dimampatkan ke dalam kompas kecil di otakku. Aku tahu bahwa sekarang aku lebih arif dibandingkan kalian semua.

“And I despise your books, I despise wisdom and the blessings of this world. It is all worthless, fleeting, illusory, and deceptive, like a mirage. You may be proud, wise, and fine, but death will wipe you off the face of the earth as though you were no more than mice burrowing under the floor, and your posterity, your history, your immortal geniuses will burn or freeze together with the earthly globe.

“Dan aku membenci buku-bukumu, kebijaksanaan dan berkah di dunia ini. Semua ini tak berguna, fana, penuh ilusi, dan menipu, seperti fatamorgana. Kau mungkin merasa bangga, bijak, dan baik, namun kematian akan menghapusmu dari permukaan bumi seakan kau tidak lebih dari tikus yang menggali lubang di lantai, dan semua anak cucumu, sejarahmu, para manusia jenius yang kekal akan terbakar atau membeku bersama seluruh dunia.

“You have lost your reason and taken the wrong path. You have taken lies for truth, and hideousness for beauty. You would marvel if, owing to strange events of some sorts, frogs and lizards suddenly grew on apple and orange trees instead of fruit, or if roses began to smell like a sweating horse; so I marvel at you who exchange heaven for earth. I don’t want to understand you.

“Kau telah kehilangan alasan dan mengambil jalan yang keliru. Kau lebih memilih kebohongan di atas kebenaran, dan keburukan di atas keindahan. Kau akan takjub jika karena suatu kejadian aneh, katak dan kadal akan tumbuh dari pohon apel dan jeruk, mereka tak menghasilkan buah. Atau jika mawar mulai beraroma kuda berkeringat; oleh karena itu aku takjub padamu yang menukar surga demi bumi. Aku tidak ingin memahamimu.

“To prove to you in action how I despise all that you live by, I renounce the two millions of which I once dreamed as of paradise and which now I despise. To deprive myself of the right to the money I shall go out from here five hours before the time fixed, and so break the compact. . . .”

“Untuk membuktikan kepadamu secara nyata bahwa aku membenci semua yang kau jalani dalam hidup , aku melepaskan dua juta yang pernah kuimpikan laiknya surga dan sekarang aku anggap rendah. Untuk menjauhkan diri dari hakku akan uang tersebut, aku akan pergi dari sini lima jam sebelum waktu yang ditentukan dan memutuskan perjanjian kita…”

When the banker had read this he laid the page on the table, kissed the strange man on the head, and went out of the lodge, weeping. At no other time, even when he had lost heavily on the Stock Exchange, had he felt so great a contempt for himself. When he got home he lay on his bed, but his tears and emotion kept him for hours from sleeping.

Setelah si bankir selesai membaca, ia meletakkan kertas itu di atas meja, mengecup kepala lelaki aneh itu, dan beranjak dari pondok sambil menangis. Tidak pernah ia merasakan kebencian besar pada dirinya sendiri seperti saat ini, tidak pula saat ia kehilangan begitu banyak di Bursa Saham. Ketika sampai di rumah ia berbaring di tempat tidur, namun air mata dan emosi menahannya berjam-jam dari tidur.

Next morning the watchmen ran in with pale faces, and told him they had seen the man who lived in the lodge climb out of the window into the garden, go to the gate, and disappear. The banker went at once with the servants to the lodge and made sure of the flight of his prisoner. To avoid arousing unnecessary talk, he took from the table the writing in which the millions were renounced, and when he got home locked it up in the fireproof safe.

Keesokan pagi, si penjaga berlari ke ruangan si bankir dengan muka pucat, dan mengabarkan bahwa mereka telah melihat lelaki yang hidup di pondok melompat dari jendela ke taman, menuju pagar, dan menghilang. Si bankir bersama dengan pembantunya mengunjungi pondok tersebut dan memastikan kepergian si tawanan. Untuk menghindari pembicaraan yang tak berguna, ia mengambil tulisan lelaki itu dari meja yang menyatakan melepaskan uang dua jutanya, dan setelah kembali ke rumah, ia mengunci benda tersebut di brankas tahan api.


Jadi menurut teman-teman, siapakah sesungguhnya pemenang taruhan tersebut? 🙂

Sesungguhnya aku agak ragu menerjemahkan “pluck” di paragraf kedua dengan “keberanian”. Pluck menurut kamus Merriam Webster memiliki beberapa pengertian. Jika dihubungkan dengan konteks kalimat pada paragraf tersebut, sepertinya si bankir menginginkan sesuatu dalam rencananya agar kecurigaan tidak jatuh kepadanya, tapi pada si penjaga. Sesuatu inilah “pluck” tersebut. Jika ada yang ingin mengkoreksiku atau memberi saran terjemahan apa yang harus kupakai untuk mengartikan “pluck” di sini, jangan ragu untuk komen 🙂

Diposkan pada Cerpen, Terjemahan

The Bet (Pertaruhan) oleh Anton Chekov – Bagian I

Blog ini akan diisi oleh beberapa terjemahan yang kukerjakan sendiri berdasarkan cerpen-cerpen yang tersebar di luar sana. Jadi jika kebetulan ada penerjemah yang membaca blog ini dan ingin mengoreksi tulisan-tulisan hasil terjemahanku, feel free! 🙂

Kuputuskan untuk mencoba menerjemahkan cerpen dengan judul di atas karena satu alasan: Judulnya yang bikin penasaran. Yah, sesederhana itu.

So, here we go!

p.s

  1. Sumber cerpen ini adalah https://americanliterature.com/author/anton-chekhov/short-story/the-bet
  2. The Bet terdapat dalam The Short Story of the Day edisi Kamis, 18 Juli 2013.

The Bet (Pertaruhan)

Bagian I

IT WAS a dark autumn night. The old banker was walking up and down his study and remembering how, fifteen years before, he had given a party one autumn evening. There had been many clever men there, and there had been interesting conversations. Among other things they had talked of capital punishment. The majority of the guests, among whom were many journalists and intellectual men, disapproved of the death penalty. They considered that form of punishment out of date, immoral, and unsuitable for Christian States. In the opinion of some of them the death penalty ought to be replaced everywhere by imprisonment for life.

Saat itu malam musim gugur yang gelap. Bankir tua itu sedang menjalani pendidikannya dan mengenang lima belas tahun lalu, saat ia mengadakan pesta di sebuah sore di musim gugur. Banyak orang-orang cerdas di sana, dan banyak percakapan menarik yang terjadi. Di antara banyak hal, mereka membicarakan tentang hukuman mati. Kebanyakan tamu yang berasal dari latar belakang jurnalis dan cendekiawan, tidak menyetujui hal tersebut. Mereka menilai hukuman tersebut sudah kuno, tidak bermoral, dan tidak sesuai dengan Negara Kristen. Sebagian dari mereka berpendapat hukuman tersebut dapat diganti dengan hukuman penjara seumur hidup.

“I don’t agree with you,” said their host the banker. “I have not tried either the death penalty or imprisonment for life, but if one may judge _a priori_, the death penalty is more moral and more humane than imprisonment for life. Capital punishment kills a man at once, but lifelong imprisonment kills him slowly. Which executioner is the more humane, he who kills you in a few minutes or he who drags the life out of you in the course of many years?”

“Aku tidak sepakat denganmu,” kata si bankir. “Aku memang tidak pernah merasakan hukuman mati ataupun dipenjara seumur hidup, tapi jika aku bisa menilai -secara apriori-, hukuman mati lebih bermoral dan lebih manusiawi dibandingkan hukuman penjara seumur hidup. Hukuman mati membunuh seseorang sekali, namun dipenjara seumur hidup membunuh seseorang dengan perlahan. Algojo mana yang lebih manusiawi, yang membunuhmu dalam beberapa menit atau yang menyeret kehidupan dari dirimu selama bertahun-tahun?”

“Both are equally immoral,” observed one of the guests, “for they both have the same object — to take away life. The State is not God. It has not the right to take away what it cannot restore when it wants to.”

“Keduanya sama-sama tidak bermoral,” seorang tamu angkat bicara, “karena dua hal tersebut memiliki tujuan yang sama – untuk mengambil kehidupan. Negara ini bukan Tuhan. Negara tidak punyak hak untuk mengambil hal yang tidak bisa dikembalikannya.”

Among the guests was a young lawyer, a young man of five-and-twenty. When he was asked his opinion, he said:

Di antara para tamu ada seorang pengacara muda, berumur sekitar dua puluh lima tahun. Saat ditanyai pendapat, ia menjawab:

“The death sentence and the life sentence are equally immoral, but if I had to choose between the death penalty and imprisonment for life, I would certainly choose the second. To live anyhow is better than not at all.”

“Hukuman mati dan hukuman seumur hidup sama-sama tidak bermoral, namun jika aku harus memilih, aku tentu akan mengambil pilihan kedua. Bagaimanapun juga, bisa hidup lebih baik daripada tidak sama sekali.”

A lively discussion arose. The banker, who was younger and more nervous in those days, was suddenly carried away by excitement; he struck the table with his fist and shouted at the young man:

Diskusipun menjadi lebih hidup. Si bankir yang saat itu masih muda dan lebih mudah gugup tiba-tiba terbawa suasana; ia memukulkan tinjunya ke meja dan berteriak pada si pemuda.

“It’s not true! I’ll bet you two millions you wouldn’t stay in solitary confinement for five years.”

“Kau keliru! Aku bertaruh dua juta kau tidak akan bisa bertahan di dalam penjara selama lima tahun.”

“If you mean that in earnest,” said the young man, “I’ll take the bet, but I would stay not five but fifteen years.”

“Jika kau memang sungguh-sungguh,” sahut si pemuda,”aku akan ikut bertaruh, namun aku tidak akan tinggal di sana selama lima tahun, melainkan lima belas tahun.”

“Fifteen? Done!” cried the banker. “Gentlemen, I stake two millions!”

“Lima belas? Baiklah! jerit si bankir. “Bapak-bapak, aku bertaruh dua juta!”

“Agreed! You stake your millions and I stake my freedom!” said the young man.

“Sepakat! Kau bertaruh dua juta dan aku mempertaruhkan kebebasanku!” tantang si pemuda.

And this wild, senseless bet was carried out! The banker, spoilt and frivolous, with millions beyond his reckoning, was delighted at the bet. At supper he made fun of the young man, and said:

Dan akhirnya pertaruhan gila dan tidak masuk akal ini dilaksanakan! Si bankir yang gegabah dan berpikiran dangkal, dengan jumlah harta tak terkira, merasa puas dengan taruhan itu. Saat makan malam, ia memperolok si pemuda dan berkata”

“Think better of it, young man, while there is still time. To me two millions are a trifle, but you are losing three or four of the best years of your life. I say three or four, because you won’t stay longer. Don’t forget either, you unhappy man, that voluntary confinement is a great deal harder to bear than compulsory. The thought that you have the right to step out in liberty at any moment will poison your whole existence in prison. I am sorry for you.”

“Pikirkanlah baik-baik selagi masih ada waktu, anak muda. Bagiku dua juta adalah jumlah kecil, tapi kau akan kehilangan tiga atau empat tahun hidupmu. Aku bilang tiga atau empat, karena kau tidak akan bertahan lama. Jangan lupa, anak pemurung, kurungan sukarela itu lebih sulit dilakukan daripada kurungan paksa. Pemikiran bahwa kau berhak keluar dengan bebas kapanpun akan meracuni keberadaanmu di penjara. Aku turut bersedih.”

And now the banker, walking to and fro, remembered all this, and asked himself: “What was the object of that bet? What is the good of that man’s losing fifteen years of his life and my throwing away two millions? Can it prove that the death penalty is better or worse than imprisonment for life? No, no. It was all nonsensical and meaningless. On my part it was the caprice of a pampered man, and on his part simple greed for money.

Saat ini si bankir, berjalan hilir mudik, mengenang semua ini dan bertanya pada dirinya sendiri: “Apa tujuan dari taruhan itu? Apa keuntungan dari pemuda yang kehilangan lima belas tahun hidup dan aku yang menghamburkan uang dua juta? Bisakah hal itu membuktikan bahwa hukuman mati lebih baik atau kebih buruk daripada hukuman penjara seumur hidup? Tidak, tidak. Semua ini tidak masuk akan dan tidak bermanfaat. Di pihakku, hal ini hanya keputusan sesaat yang gegabah, dan pemuda itu hanya rakus akan uang.

Then he remembered what followed that evening. It was decided that the young man should spend the years of his captivity under the strictest supervision in one of the lodges in the banker’s garden. It was agreed that for fifteen years he should not be free to cross the threshold of the lodge, to see human beings, to hear the human voice, or to receive letters and newspapers. He was allowed to have a musical instrument and books, and was allowed to write letters, to drink wine, and to smoke. By the terms of the agreement, the only relations he could have with the outer world were by a little window made purposely for that object. He might have anything he wanted — books, music, wine, and so on — in any quantity he desired by writing an order, but could only receive them through the window. The agreement provided for every detail and every trifle that would make his imprisonment strictly solitary, and bound the young man to stay there _exactly_ fifteen years, beginning from twelve o’clock of November 14, 1870, and ending at twelve o’clock of November 14, 1885. The slightest attempt on his part to break the conditions, if only two minutes before the end, released the banker from the obligation to pay him two millions.

Kemudian ia teringat kejadian selanjutnya malam itu. Sudah diputuskan bahwa si pemuda harus menjalani hidup bertahu-tahun di salah satu pondok di kebun si bankir dengan pengawasan ketat. Telah disepakati bahwa selama lima belas tahun ia tidak diperbolehkan melewati batas pondok tersebut untuk menemui manusia, mendengar suara manusia, atau menerima surat dan koran. Ia diperbolehkan memiliki alat musik dan buku, menulis surat, minum anggur, dan merokok. Sesuai kesepakatan ini, satu-satunya penghubung dengan dunia luar adalah jendela kecil yang sengaja dibuat untuk tujuan ini. Ia bisa mendapatkan apapun yang ia mau — buku, musik, anggur, dan sebagainya – dengan menulis jumlah yang ia inginkan, tapi hanya bisa ia terima melalui jendela itu. Kesepakatan ini menyediakan semua detil dan hal remeh-temeh yang akan membuat kurungan ini benar-benar ketat dan terisolasi dan memastikan si pemuda tinggal di sana persis lima belas tahun, mulai jam 12 siang tanggal 14 Nopember 1870 sampai jam 12 siang tanggal 14 Nopember 1885. Upaya sekecil apapun untuk melanggar kesepakatan ini, meskipun hanya dua menit sebelum waktu berakhirnya, akan membebaskan si bankir dari kewajiban membayar dua juta.

For the first year of his confinement, as far as one could judge from his brief notes, the prisoner suffered severely from loneliness and depression. The sounds of the piano could be heard continually day and night from his lodge. He refused wine and tobacco. Wine, he wrote, excites the desires, and desires are the worst foes of the prisoner; and besides, nothing could be more dreary than drinking good wine and seeing no one. And tobacco spoilt the air of his room. In the first year the books he sent for were principally of a light character; novels with a complicated love plot, sensational and fantastic stories, and so on.

Pada tahun pertama dalam kurungan, dari yang bisa dilihat dari catatan-catatan singkatnya, si pemuda menderita depresi dan kesepian. Suara piano terdengar siang dan malam dari pondoknya. Ia menolak anggur dan rokok. Anggur, tulisnya, membangkitkan hasrat, dan hasrat adalah musuh utama seorang tawanan; disamping itu, tak ada yang lebih membosankan daripada minum anggur nikmat dan sendirian. Dan rokok memperburuk udara di kamarnya. Pada tahun pertama, buku-buku yang dikirimkan untuknya umumnya memiliki karakter ringan; novel-novel dengan cerita yang memiliki plot cinta rumit, sensasional dan fantastis, dan sebagainya.

In the second year the piano was silent in the lodge, and the prisoner asked only for the classics. In the fifth year music was audible again, and the prisoner asked for wine. Those who watched him through the window said that all that year he spent doing nothing but eating and drinking and lying on his bed, frequently yawning and angrily talking to himself. He did not read books. Sometimes at night he would sit down to write; he would spend hours writing, and in the morning tear up all that he had written. More than once he could be heard crying.

Pada tahun kedua, tak ada lagi suara piano, dan si tawanan hanya meminta novel klasik. Pada tahun kelima, suara musik terdengar kembali, dan ia meminta anggur. Siapapun yang melihatnya dari jendela berpendapat bahwa dalam beberapa tahun tersebut ia tidak melakukan apapun selain makan, minum dan berbaring di tempat tidurnya, kerap kali menguap dan marah-marah pada dirinya sendiri. Ia tidak membaca buku. Terkadang pada malam hari, ia akan duduk dan menulis; ia menghabiskan waktu berjam-jam, kemudian di pagi hari ia merobek semua hasil tulisannya. Lebih dari sekali ia terdengar sedang menangis.

In the second half of the sixth year the prisoner began zealously studying languages, philosophy, and history. He threw himself eagerly into these studies — so much so that the banker had enough to do to get him the books he ordered. In the course of four years some six hundred volumes were procured at his request. It was during this period that the banker received the following letter from his prisoner:

Pada pertengahan tahun keenam, ia mulai belajar berbagai bahasa, filosofi dan sejarah dengan tekun. Ia sangat bersemangat dalam studinya — sangat bersemangat sampai-sampai si bankir tak sanggup lagi menyediakan buku untuknya. Dalam waktu empat tahun, ia membelikan enam ratus jilid buku atas permintaan si tawanan. Pada masa ini si bankir menerima surat dari si tawanan:

“My dear Jailer, I write you these lines in six languages. Show them to people who know the languages. Let them read them. If they find not one mistake I implore you to fire a shot in the garden. That shot will show me that my efforts have not been thrown away. The geniuses of all ages and of all lands speak different languages, but the same flame burns in them all. Oh, if you only knew what unearthly happiness my soul feels now from being able to understand them!” The prisoner’s desire was fulfilled. The banker ordered two shots to be fired in the garden.

“Jailer terkasih, aku menulis surat ini dalam enam bahasa. Tunjukkanlah kepada mereka yang mengerti bahasa-bahasa ini. Biarkan mereka membacanya. Apabila mereka tidak menemukan satupun kesalahan, aku memohon padamu untuk menembakkan satu tembakan di kebun. Tembakan itu akan menunjukkan kepadaku bahwa usahaku tidak sia-sia. Para jenius dari segala umur dan segala negeri berbicara dengan bahasa-bahasa berbeda, tapi api yang sama menyala dalam diri mereka. Oh, andai saja kau tahu kebahagiaan tak terkira yang kurasakan sekarang karena mampu memahaminya!” Keinginannya terpenuhi. Si bankir memerintahkan dua tembakan di kebunnya.

Then after the tenth year, the prisoner sat immovably at the table and read nothing but the Gospel. It seemed strange to the banker that a man who in four years had mastered six hundred learned volumes should waste nearly a year over one thin book easy of comprehension. Theology and histories of religion followed the Gospels.

Kemudian setelah tahun kesepuluh, si tawanan duduk tak bergeming di meja dan hanya membaca Injil. Aneh, pikir si bankir, bahwa seorang pemuda yang dalam empat tahun bisa menguasai enam ratus jilid buku membuang waktu hampir setahun hanya untuk sebuah buku tipis yang mudah dipahami. Setelah itu ia membaca buku-buku teologi dan sejarah agama.

In the last two years of his confinement the prisoner read an immense quantity of books quite indiscriminately. At one time he was busy with the natural sciences, then he would ask for Byron or Shakespeare. There were notes in which he demanded at the same time books on chemistry, and a manual of medicine, and a novel, and some treatise on philosophy or theology. His reading suggested a man swimming in the sea among the wreckage of his ship, and trying to save his life by greedily clutching first at one spar and then at another.

Dalam dua tahun terakhir, si tawanan membaca buku-buku dengan jumlah banyak tanpa pandang jenis. Suatu saat ia sibuk dengan ilmu alam, lalu ia akan meminta buku Bryon atau Shakespeare. Di beberapa catatan pada waktu bersamaan, ia akan meminta beberapa buku kimia, panduan kedokteran, sebuah novel dan beberapa risalah filosofi atau teologi. Sebuah bacaannya menunjukkan seorang lelaki berenang di laut di antara puing-puing kapalnya, dan mencoba menyelamatkan diri dengan berpegangan erat pada satu tiang, kemudian pada tiang lainnya.


Jadi, inilah akhir bagian pertama cerpen ini. Oleh karena keterbatasan waktu, aku akan mengirimkan terjemahan bagian kedua The Bet besok, in syaa Allah.

Penasaran dengan siapa pemenang taruhannya, ‘kan? Sama. Karena akupun belum membaca cerpen ini sampai akhir dan tidak memiliki ekspektasi apa-apa terhadap endingnya.