Jadi, terjemahan prolog novel ini adalah proyek yang sudah lumayan lama kukerjakan, sekitar dua setengah bulan yang lalu. Proyek ini juga jadi salah satu contoh terjemahan yang kuajukan ke penerbit idaman, demi melamar menjadi penerjemah lepas.
Apa daya, mungkin belum layak, belum jodoh, atau belum takdir (apa bedanya? 😛 ), lamaranku belum ada yang tembus. Hal ini juga menjadi bahan evaluasi bagiku untuk lebih memperbaiki lagi hasil terjemahan. Semoga di masa depan, cita-citaku menjadi penerjemah lepas buku fiksi bisa terkabul, aamiin.
Bagi pembaca yang memiliki kemampuan menerjemah lebih baik dariku, jangan ragu untuk langsung mengkritik atau memberi saran hasil penerjemahan ini di komentar, ya. Tabik!

Judul : Ready Player One
Pengarang : Ernest Cline
Penerbit : Random House (USA)
Genre : Fiksi Ilmiah dan Distopia
Tahun Terbit : 2011
Tautan Amazon :http://www.amazon.com/Ready-Player-One-A- Novel/dp/0307887448
Tautan Goodreads : http://www.goodreads.com/book/show/9969571-ready-player-one
Penghargaan :
1. Alex Award dari the Young Adult Library Services Association (2012)
2. Prometheus Award (2012)
Sinopsis :
Tahun 2045, realitas menjadi tempat yang menjengkelkan. Wade Watts, remaja berusia delapan belas tahun, lebih suka melarikan diri ke dunia utopis virtual bernama OASIS. Ia mendedikasikan hidup memecahkan teka-teki yang ada di dunia digital berdasarkan obsesi kreatornya pada budaya pop tahun 1980-an. Sang kreator menjanjikan harta warisannya untuk siapa pun yang sanggup memecahkan teka-teki itu.
Wade berjuang mendapatkan petunjuk pertamanya dan diserang oleh pemburu lain yang rela membunuh demi hadiah dari sang kreator. Jika ingin bertahan hidup, Wade harus memenangkan pemburuan di dunia maya tersebut dan menghadapi dunia nyatanya.
Sumber asli bahan penerjemahan dari website resmi Ready Player One, http://readyplayerone.com/excerpt1
Everyone my age remembers where they were and what they were doing when they first heard about the contest. I was sitting in my hideout watching cartoons when the news bulletin broke in on my video feed, announcing that James Halliday had died during the night.
Semua remaja seusiaku ingat di mana dan apa yang mereka lakukan saat pertama mendengar tentang kontes itu. Aku sedang duduk menonton film kartun di tempat persembunyianku saat buletin berita muncul di umpan videoku, mengumumkan bahwa James Halliday telah meninggal malam itu.
I’d heard of Halliday, of course. Everyone had. He was the videogame designer responsible for creating the OASIS, a massively multiplayer on- line game that had gradually evolved into the globally networked virtual reality most of humanity now used on a daily basis. The unprecedented success of the OASIS had made Halliday one of the wealthiest people in the world.
Aku pernah mendengar tentangnya, tentu saja. Semua orang pernah. Ia adalah pendesain permainan video yang bertanggung jawab menciptakan OASIS, permainan multipemain dalam jaringan luas yang perlahan berkembang menjadi realitas virtual yang terhubung secara global dan digunakan hampir seluruh umat manusia sehari-hari. Kesuksesan OASIS yang belum pernah terjadi sebelumnya ini membuat Hallyday jadi salah satu orang terkaya di dunia.
At first, I couldn’t understand why the media was making such a big deal of the billionaire’s death. After all, the people of Planet Earth had other concerns. The ongoing energy crisis. Catastrophic climate change. Widespread famine, poverty, and disease. Half a dozen wars. You know: “dogs and cats living together . . . mass hysteria!” Normally, the news- feeds didn’t interrupt everyone’s interactive sitcoms and soap operas un- less something really major had happened. Like the outbreak of some new killer virus, or another major city vanishing in a mushroom cloud. Big stuff like that. As famous as he was, Halliday’s death should have war- ranted only a brief segment on the evening news, so the unwashed masses could shake their heads in envy when the newscasters announced the obscenely large amount of money that an’s heirs.
Awalnya aku tidak mengerti alasan media membesar-besarkan kematian seorang jutawan. Lagipula, masyarakat planet Bumi punya hal lain untuk dikhawatirkan. Krisis energi yang sedang berlangsung. Bencana akibat perubahan iklim. Kelaparan, kemiskinan, dan penyakit yang tersebar luas. Setengah lusin perang. Kau tahu: “anjing dan kucing hidup berdampingan…histeria masal!” Biasanya umpan berita tidak mengganggu acara sitkom dan opera sabun tontonan orang-orang kecuali suatu hal penting telah terjadi. Seperti merebaknya virus baru mematikan, atau kota besar lain yang menghilang dalam awan berbentuk jamur yang terjadi akibat ledakan bom nuklir. Hal-hal besar seperti itu. Seterkenal apa pun ia, kematian Halliday harusnya hanya mengisi segmen singkat pada berita malam hari, sehingga masyarakat jelata bisa menggelengkan kepala karena iri saat pembawa berita mengumumkan jumlah uang yang bikin sebal untuk ahli warisnya.
But that was the rub. James Halliday had no heirs.
Namun itulah kesulitannya. James Halliday tidak punya pewaris.
He had died a sixty-seven-year-old bachelor, with no living relatives and, by most accounts, without a single friend. He’d spent the last fifteen years of his life in self-imposed isolation, during which time—if the rumors were to be believed—he’d gone completely insane.
Ia meninggal sebagai bujangan berusia enam puluh tujuh tahun, tanpa sanak saudara, dan dari beberapa catatan, tanpa teman. Ia telah menghabiskan lima belas tahun terakhir hidupnya mengurung diri, dan selama itu—jika rumor bisa dipercaya—ia benar-benar menjadi gila.
So the real jaw-dropping news that January morning, the news that had everyone from Toronto to Tokyo crapping in their cornflakes, concerned the contents of Halliday’s last will and testament, and the fate of his vast fortune.
Berita mencengangkan sesungguhnya pada pagi hari bulan Januari, berita yang membuat semua orang dari Toronto hingga Tokyo mendongkol adalah isi kehendak dan wasiat terakhir Halliday serta nasib hartanya yang berlimpah.
Halliday had prepared a short video message, along with instructions that it be released to the world media at the time of his death. He’d also ar- ranged to have a copy of the video e-mailed to every single OASIS user that same morning. I still remember hearing the familiar electronic chime when it arrived in my inbox, just a few seconds after I saw that first news bulletin.
Halliday telah menyiapkan video berisi pesan pendek, bersama dengan instruksi bahwa waktu rilis video ke media di seluruh dunia adalah saat kematiannya. Ia juga mengatur agar salinan video tersebut dikirimkan melalui surat elektronik ke setiap pengguna OASIS di pagi yang sama. Aku masih ingat mendengar suara elektronik yang familiar saat pesan itu tiba di kotak masukku, hanya beberapa detik setelah melihat buletin berita pertama itu.
His video message was actually a meticulously constructed short film titled Anorak’s Invitation. A famous eccentric, Halliday had harbored a lifelong obsession with the 1980s, the decade during which he’d been a teenager, and Anorak’s Invitation was crammed with obscure ’80s pop culture references, nearly all of which were lost on me the first time I viewed it.
Pesan video itu sebenarnya sebuah film pendek yang dibuat sangat cermat berjudul Undangan Anorak. Halliday yang terkenal eksentrik telah memendam obsesi seumur hidup pada era 1980-an, dekade masa remajanya, dan Undangan Anorak berjejal dengan referensi samar budaya pop tahun 80an. Aku tidak memahami hampir semua referensi tersebut saat pertama kali melihatnya.
The entire video was just over five minutes in length, and in the days and weeks that followed, it would become the most scrutinized piece of film in history, surpassing even the Zapruder film in the amount of pains- taking frame-by-frame analysis devoted to it. My entire generation would come to know every second of Halliday’s message by heart.
Keseluruhan video hanya berdurasi lebih dari lima menit. Berhari-hari dan berminggu-minggu setelahnya, video itu menjadi sepotong film paling dikritisi sepanjang sejarah, melampaui jumlah analisis menyakitkan frame demi frame khusus untuk film Zapruder. Semua anak di generasiku hafal setiap detik pesan Halliday di luar kepala.
. . .
Anorak’s Invitation begins with the sound of trumpets, the opening of an old song called “Dead Man’s Party.”
Undangan Anorak dimulai dengan suara trompet, pembuka sebuah lagu lama berjudul “Dead Man’s Party.”
The song plays over a dark screen for the first few seconds, until the trumpets are joined by a guitar, and that’s when Halliday appears. But he’s not a sixty-seven-year-old man, ravaged by time and illness. He looks just as he did on the cover of Time magazine back in 2014, a tall, thin, healthy man in his early forties, with unkempt hair and his trademark horn-rimmed eyeglasses. He’s also wearing the same clothing he wore in the Time cover photo: faded jeans and classic Space Invader shirt.
Lagu itu bermain di sebuah layar hitam untuk beberapa detik pertama, hingga suara gitar bergabung dengan trompet dan saat itulah Halliday muncul. Akan tetapi ia bukan pria berusia enam puluh tujuh tahun yang dimakan waktu dan penyakit. Ia terlihat sama seperti ketika menjadi sampul depan majalah Time tahun 2014, pria tinggi kurus sehat bugar di awal usia empat puluh, dengan rambut berantakan dan kacamata berbingkai tanduk khasnya. Ia juga mengenakan pakaian yang sama dengan yang dikenakannya di foto sampul majalah itu: celana jin pudar dan kaus klasik Space Invaders.
Halliday is at a high-school dance being held in a large gymnasium. He’s surrounded by teenagers whose clothing, hairstyles, and dance moves all indicate that the time period is the late 1980s.* Halliday is dancing, too— something no one ever saw him do in real life. Grinning maniacally, he spins in rapid circles, swinging his arms and head in time with the song, flawlessly cycling through several signature ’80s dance moves. But Halliday has no dance partner. He is, as the saying goes, dancing with himself.
Halliday sedang berada di pesta dansa SMA dalam gimnasium besar. Ia dikelilingi remaja-remaja dengan gaya baju, rambut, dan gerakan tari yang menunjukkan periode waktu akhir 1980-an. Halliday juga menari, sesuatu yang tidak pernah dilihat orang dilakukannya saat masih hidup. Ia berputar cepat dalam lingkaran seraya tersenyum penuh antusias, mengayunkan tangan dan kepala seirama lagu, menarikan berkali-kali beberapa gerakan khas 80an dengan sempurna. Namun ia tidak memiliki pasangan tari. Ia, seperti kata pepatah, menari dengan dirinya sendiri.
A few lines of text appear briefly at the lower left-hand corner of the screen, listing the name of the band, the song’s title, the record label, and the year of release, as if this were an old music video airing on MTV: Oingo Boingo, “Dead Man’s Party,” MCA Records, 1985.
Beberapa baris teks muncul secara singkat di pojok kiri bawah layar, menunjukkan nama band, judul lagu, label rekaman, dan tahun rilis, seperti video musik lama yang tayang di MTV: Oingo Boingo, “Dead Man’s Party,” Label Rekaman MCA, 1985.
*Careful analysis of this scene reveals that all of the teenagers behind Halliday are actually extras from various John Hughes teen films who have been digitally cut-and-pasted into the video.
Analisis cermat dari adegan ini mengungkap bahwa semua remaja di belakang Halliday sebenarnya adalah pemeran tambahan dari beberapa film remaja John Hughes yang sudah dipotong-salin secara digital ke dalam video.
When the lyrics kick in, Halliday begins to lip-synch along, still gyrating: “All dressed up with nowhere to go. Walking with a dead man over my shoulder. Don’t run away, it’s only me. . . .”
Ketika lirik lagunya menyentak, Halliday mulai ikut bernyanyi masih sambil bergoyang dan berputar: “Semua berdandan tanpa tahu tujuan. Berjalan dengan seorang mayat laki-laki di bahuku. Jangan lari, ini hanya aku…”
He abruptly stops dancing and makes a cutting motion with his right hand, silencing the music. At the same moment, the dancers and the gym- nasium behind him vanish, and the scene around him suddenly changes.
Ia tiba-tiba berhenti menari dan membuat gerakan memotong dengan tangan kanannya, menghentikan musik. Pada waktu bersamaan, para penari dan gimnasium di belakangnya lenyap, dan latar tempat di sekitarnya mendadak berubah.
Halliday now stands at the front of a funeral parlor, next to an open casket.† A second, much older Halliday lies inside the casket, his body emaciated and ravaged by cancer. Shiny quarters cover each of his eyelids.‡ The younger Halliday gazes down at the corpse of his older self with mock sadness, then turns to address the assembled mourners.§
Halliday sekarang berdiri di depan sebuah rumah duka, di samping peti mati yang terbuka. Sedetik kemudian, Halliday yang lebih tua terbaring di dalam peti mati, tubuhnya kurus dan rusak karena kanker. Koin 25 sen berkilau menutup masing-masing kelopak matanya. Halliday muda memandang ke bawah, ke arah mayat dirinya dengan kesedihan yang dibuat-buat, kemudian berbalik menghadap para pelayat.
†His surroundings are actually from a scene in the 1989 film Heathers. Halliday appears to have digitally re-created the funeral parlor set and then inserted himself into it.
Pemandangan di sekitarnya sesungguhnya adalah adegan film Heathers tahun 1989. Halliday tampaknya membuat kembali set rumah duka kemudian memasukkan dirinya sendiri ke sana.
‡High-resolution scrutiny reveals that both quarters were minted in 1984.
Pengamatan dengan resolusi tingkat tinggi menunjukkan bahwa kedua koin 25 sen itu dicetak tahun 1984.
§The mourners are actually all actors and extras from the same funeral scene in Heathers. Winona Ryder and Christian Slater are clearly visible in the audience, sitting near the back.
Para pelayat sebenarnya adalah semua aktor dan pemeran tambahan dari pemakaman yang sama dari adegan film Heathers. Winona Ryder dan Christian Slater jelas terlihat duduk di belakang di antara para pelayat.
Halliday snaps his fingers and a scroll appears in his right hand. He opens it with a flourish and it unfurls to the floor, unraveling down the aisle in front of him. He breaks the fourth wall, addressing the viewer, and begins to read. “I, James Donovan Halliday, being of sound mind and disposing memory, do hereby make, publish, and declare this instrument to be my last will and testament, hereby revoking any and all wills and codicils by me at any time heretofore made. . . .” He continues reading, faster and faster, plowing through several more paragraphs of legalese, until he’s speaking so rapidly that the words are unintelligible. Then he stops abruptly. “Forget it,” he says. “Even at that speed, it would take me a month to read the whole thing. Sad to say, I don’t have that kind of time.” He drops the scroll and it vanishes in a shower of gold dust. “Let me just give you the highlights.”
Halliday menjentikkan jari dan sebuah gulungan muncul di tangan kanannya. Ia mengembangkannya dan gulungan itu terbentang ke lantai, terurai sampai ke lorong di depannya. Ia beralih dari dunia fantasinya ke dunia nyata dengan memandang penonton dan mulai membaca. “Aku, James Donovan Halliday, berada dalam kemampuan mental dan hukum yang baik, dengan ini membuat, menerbitkan, dan menyatakan instrumen ini sebagai kehendak dan wasiat terakhirku, serta mencabut setiap dan semua kehendak dan ketentuan tambahan surat wasiat yang kubuat sebelum yang ini ditetapkan. . .” Ia terus membaca, lebih cepat dan lebih cepat beberapa paragraf bahasa hukum lagi dengan mantap, hingga ia berbicara begitu cepat sampai-sampai setiap kata tidak bisa dipahami. Kemudian ia mendadak berhenti. “Lupakan,” ujarnya. “Bahkan dengan kecepatan seperti itu, akan makan waktu sebulan membaca semuanya. Sedihnya, aku tidak punya waktu seperti itu.” Ia menjatuhkan gulungan dan benda itu menghilang dalam jutaan serbuk emas. “Mari kuberi tahu inti utama wasiatku.”
The funeral parlor vanishes, and the scene changes once again. Hal- liday now stands in front of an immense bank vault door. “My entire es- tate, including a controlling share of stock in my company, Gregarious Simulation Systems, is to be placed in escrow until such time as a single condition I have set forth in my will is met. The first individual to meet that condition will inherit my entire fortune, currently valued in excess of two hundred and forty billion dollars.”
Rumah duka itu lenyap dan latar tempat di sekitar Halliday berubah lagi. Ia sekarang berdiri di depan sebuah pintu lemari besi bank yang sangat besar. “Seluruh hartaku, termasuk saham pengendali di perusahaanku, Gregarious Simulation Systems, akan ditempatkan di tangan pihak ketiga hingga waktu tertentu sampai suatu syarat yang sudah kusertakan di wasiatku terpenuhi. Orang pertama yang memenuhi syarat tersebut akan mewarisi semua hartaku yang saat ini bernilai lebih dari dua ratus empat puluh juta dolar.”
The vault door swings open and Halliday walks inside. The interior of the vault is enormous, and it contains a huge stack of gold bars, roughly the size of a large house. “Here’s the dough I’m putting up for grabs,” Halliday says, grinning broadly. “What the hell. You can’t take it with you, right?”
Pintu lemari besi berayun terbuka dan Halliday masuk ke dalamnya. Bagian dalam ruangan itu berukuran luar biasa dan berisi setumpuk besar batang emas, kira-kira seukuran rumah yang luas. “Di sinilah uang yang akan jadi rebutan,” ucapnya dengan seringai lebar. “Apa-apaan. Kau tidak bisa membawanya bersamamu, kan?”
Halliday leans against the stack of gold bars, and the camera pulls in tight on his face. “Now, I’m sure you’re wondering, what do you have to do to get your hands on all this moolah? Well, hold your horses, kids. I’m getting to that. . . .” He pauses dramatically, his expression changing to that of a child about to reveal a very big secret.
Halliday bersandar di tumpukan emas-emas batangan dan kamera menangkap wajahnya lebih dekat. “Sekarang aku yakin kalian penasaran, apa yang akan kalian lakukan untuk mendapat semua uang ini? Well, tahan kudamu, Anak-anak. Aku hampir sampai ke penjelasannya…“ Ia berhenti dengan dramatis, ekspresinya menjadi seperti anak kecil yang akan mengungkap sebuah rahasia besar.
Halliday snaps his fingers again and the vault disappears. In the same instant, Halliday shrinks and morphs into a small boy wearing brown corduroys and a faded The Muppet Show T-shirt.* The young Halliday stands in a cluttered living room with burnt orange carpeting, wood- paneled walls, and kitschy late-’70s decor. A 21-inch Zenith television sits nearby, with an Atari 2600 game console hooked up to it.
Halliday menjentikan tangannya lagi dan lemari besi itu menghilang. Dalam waktu bersamaan, Halliday menyusut dan berubah menjadi bocah lelaki yang mengenakan celana kordorai coklat dan kaus The Muppet Show pudar. Halliday muda berdiri di tengah ruang tamu berantakan dengan karpet jingga yang sudah terbakar, dinding berpanel kayu, dan dekorasi lama ala akhir tahun 70an. Televisi Zenith 21 inci terletak di dekatnya dengan konsol mainan Atari 2600 terhubung ke sana.
*Halliday now looks exactly as he did in a schos eight years old
Halliday terlihat persis seperti dirinya saat berusia delapan tahun.
“This was the first videogame system I ever owned,” Halliday says, now in a child’s voice. “An Atari 2600. I got it for Christmas in 1979.” He plops down in front of the Atari, picks up a joystick, and begins to play. “My favorite game was this one,” he says, nodding at the TV screen, where a small square is traveling through a series of simple mazes. “It was called Adventure. Like many early videogames, Adventure was designed and programmed by just one person. But back then, Atari refused to give its programmers credit for their work, so the name of a game’s creator didn’t actually appear anywhere on the packaging.” On the TV screen, we see Halliday use a sword to slay a red dragon, although due to the game’s crude low-resolution graphics, this looks more like a square using an arrow to stab a deformed duck.
“Ini adalah sistem permainan video pertama yang pernah kumiliki,“ ungkap Halliday dengan suara anak kecil. “Sebuah Atari 2600. Kudapat saat Natal tahun 1979.” Ia menjatuhkan diri di depan Atari, mengambil sebuah tuas kendali dan mulai bermain. “Permainan favoritku adalah yang satu ini,” katanya sambil mengedik ke layar TV yang menampilkan sebuah kotak kecil yang berjalan melewati rangkaian labirin sederhana. “Permainan ini disebut Petualangan. Sama seperti permainan video dahulu, Petualangan didesain dan diprogram hanya oleh satu orang. Namun saat itu, Atari menolak memberi kredit pada para pemrogram atas karya mereka, jadi nama kreator permainan tidak muncul di mana pun pada kemasannya.” Di atas layar TV, kita menyaksikan Halliday menggunakan pedang untuk menebas seekor naga merah, meski karena grafis beresolusi rendah yang kasar dari permainan itu, adegan tadi terlihat seperti sebuah kotak menggunakan anak panah untuk menusuk bebek cacat.
“So the guy who created Adventure, a man named Warren Robinett, decided to hide his name inside the game itself. He hid a key in one of the game’s labyrinths. If you found this key, a small pixel-sized gray dot, you could use it to enter a secret room where Robinett had hidden his name.” On the TV, Halliday guides his square protagonist into the game’s secret room, where the words created by warren robinett appear in the center of the screen.
“Jadi, laki-laki pencipta Petualangan yang bernama Warren Robinett, memutuskan menyembunyikan namanya dalam permainan itu sendiri. Ia menyembunyikan sebuah kunci dalam salah satu labirin di permainan itu. Jika kau menemukan kunci ini, sebuah titik seukuran piksel kecil kelabu, kau bisa menggunakannya untuk masuk ke ruang rahasia yang digunakan Robinett untuk menyembunyikan namanya.” Di TV, Halliday menuntun protagonis berbentuk kotak masuk ke ruang rahasia dengan kata-kata “diciptakan oleh warren robinett” muncul di tengah-tengah layar.
“This,” Halliday says, pointing to the screen with genuine reverence, “was the very first videogame Easter egg. Robinett hid it in his game’s code without telling a soul, and Atari manufactured and shipped Adventure all over the world without knowing about the secret room. They didn’t find out about the Easter egg’s existence until a few months later, when kids all over the world began to discover it. I was one of those kids, and finding Robinett’s Easter egg for the first time was one of the coolest videogaming experiences of my life.”
“Ini,” ujar Halliday sambil menunjuk ke layar dengan rasa hormat yang tulus, “adalah Easter egg atau fitur tak terduga pertama dalam permainan video. Robinett menyembunyikannya di dalam kode permainan tanpa memberitahu siapa pun, dan Atari memproduksi dan mengapalkannya ke seluruh penjuru dunia tanpa mengetahui keberadaan ruang rahasia. Mereka tidak mengetahui tentang keberadaan Easter egg hingga beberapa bulan kemudian, saat semua anak-anak di dunia mulai menemukannya. Aku merupakan salah satu dari anak-anak itu, dan menemukan Easter egg Robinett untuk pertama kali adalah salah satu pengalaman bermain permainan video paling keren dalam hidupku.”
The young Halliday drops his joystick and stands. As he does, the liv- ing room fades away, and the scene shifts again. Halliday now stands in a dim cavern, where light from unseen torches flickers off the damp walls. In the same instant, Halliday’s appearance also changes once again, as he morphs into his famous OASIS avatar, Anorak—a tall, robed wizard with a slightly more handsome version of the adult Halliday’s face (minus the eyeglasses). Anorak is dressed in his trademark black robes, with his avatar’s emblem (a large calligraphic letter “A”) embroidered on each sleeve.
Halliday muda menjatuhkan tuas kendali dan berdiri. Saat ia berdiri, ruang keluarga menghilang dan latar tempat berganti lagi. Halliday sekarang berdiri di dalam gua suram. Cahaya obor tak terlihat berkelip dari dinding gua yang lembab. Pada saat bersamaan, penampilan Halliday berganti sekali lagi ketika ia berubah menjadi sosok avatar OASIS-nya yang masyhur, Anorak—penyihir tinggi berjubah dengan versi sedikit lebih tampan dari Halliday dewasa (tanpa kacamata). Anorak mengenakan jubah hitam khasnya dengan sulaman emblem avatar (kaligrafi besar huruf “A”) pada masing-masing lengan jubah.
“Before I died,” Anorak says, speaking in a much deeper voice, “I created my own Easter egg, and hid it somewhere inside my most popular videogame—the OASIS. The first person to find my Easter egg will in- herit my entire fortune.”
“Sebelum aku mati,” kata Anorak dengan suara yang lebih rendah, “Aku menciptakan Easter egg-ku sendiri dan menyembunyikannya di permainan video ciptaanku yang paling populer—OASIS. Orang pertama yang menemukannya akan mewarisi seluruh kekayaanku.”
Another dramatic pause.
Keheningan dramatis lainnya.
“The egg is well hidden. I didn’t just leave it lying under a rock some- where. I suppose you could say that it’s locked inside a safe that is buried in a secret room that lies hidden at the center of a maze located somewhere”—he reaches up to tap his right temple—“up here.
“Easter egg itu tersembunyi dengan baik. Aku tidak meninggalkannya di bawah batu di suatu tempat begitu saja. Bisa dibilang aku menguncinya di dalam peti yang terkubur di ruang rahasia. Ruang itu tersembunyi di tengah labirin yang terletak di suatu tempat”—ia menunjuk dahi kanannya—“di sini.”
“But don’t worry. I’ve left a few clues lying around to get everyone started. And here’s the first one.” Anorak makes a grand gesture with his right hand, and three keys appear, spinning slowly in the air in front of him. They appear to be made of copper, jade, and clear crystal. As the keys continue to spin, Anorak recites a piece of verse, and as he speaks each line, it appears briefly in flaming subtitles across the bottom of screen:
“Namun jangan khawatir. Aku telah meninggalkan beberapa petunjuk bertebaran agar setiap orang mulai mencari. Inilah petunjuk pertama.” Anorak membuat gerakan indah dengan tangan kanannya, dan tiga kunci muncul, berputar perlahan di udara di hadapannya. Mereka tampaknya terbuat dari tembaga, giok, dan kristal. Sementara kunci-kunci terus berputar, Anorak melafalkan sepotong sajak. Saat ia membacakan setiap baris, baris-baris itu muncul secara singkat dalam bentuk anak judul yang menyala di bawah layar:
Three hidden keys open three secret gates
Wherein the errant will be tested for worthy traits
And those with the skill to survive these straits
Will reach The End where the prize awaits
Tiga kunci tersembunyi membuka tiga gerbang rahasia
Tempat pengujian kelayakan sifat para pengembara
Barangsiapa memiliki kemampuan menyintas rintangan yang tersedia
Akan mencapai Tempat Akhir, tempat hadiah menunggu mereka
As he finishes, the jade and crystal keys vanish, leaving only the copper key, which now hangs on a chain around Anorak’s neck.
Ketika ia selesai, kunci giok dan kristal lenyap menyisakan kunci tembaga yang tergantung pada rantai di leher Anorak.
The camera follows Anorak as he turns and continues farther into the dark cavern. A few seconds later, he arrives at a pair of massive wooden doors set into the cavern’s rocky wall. These doors are banded with steel, and there are shields and dragons carved into their surfaces. “I couldn’t playtest this particular game, so I worry that I may have hidden my Easter egg a little too well. Made it too difficult to reach. I’m not sure. If that’s the case, it’s too late to change anything now. So I guess we’ll see.”
Kamera mengikuti Anorak saat ia berputar dan kembali berjalan lebih jauh menuju gua yang gelap. Beberapa detik kemudian, ia sampai di depan sepasang pintu kayu besar yang terpasang di dinding gua itu. Pintu-pintu ini dilapisi baja dan permukaannya terukir gambar perisai serta naga. “Aku tidak bisa menguji coba permainan khusus ini, jadi aku khawatir mungkin aku menyembunyikan Easter egg-ku sedikit lebih baik. Kubuat terlalu sulit untuk dijangkau. Aku tidak yakin. Jika memang begitu, sudah terlambat untuk mengubah apa pun sekarang. Jadi, kita lihat saja nanti.”
Anorak throws open the double doors, revealing an immense treasure room filled with piles of glittering gold coins and jewel-encrusted gob- lets.* Then he steps into the open doorway and turns to face the viewer, stretching out his arms to hold open the giant double doors.†
Anorak membuka pintu ganda untuk para penonton, menampilkan ruang harta karun yang sangat luas dan dipenuhi bertumpuk-tumpuk koin emas berkilauan dan piala bertatahkan permata. Lalu ia melangkah menuju ambang pintu dan membalikkan wajahnya ke arah penonton, merentangkan tangan untuk menahan pintu tetap terbuka.
*Analysis reveals dozens of curious items hidden among the mounds of treasure, most notably: several early home computers (an Apple IIe, a Commodore 64, an Atari 800XL, and a TRS-80 Color Computer 2), dozens of videogame controllers for a variety of game systems, and hundreds of polyhedral dice like those used in old tabletop role-playing games.
Analisis menunjukkan bahwa puluhan benda tersembunyi di antara gundukan harta itu umumnya adalah: beberapa komputer rumahan terdahulu (sebuah Apple Iie a Commodore 64, sebuah Atari 800XL, dan sebuah TRS-80 Komputer Warna 2, puluhan pengendali permainan video untuk berbagai macam sistem permainan, dan ribuan dadu polihedral seperti yang digunakan dalam permainan bermain peran di atas meja.
†A freeze-frame of this scene appears nearly identical to a painting by Jeff Easley that appeared on the cover of the Dungeon Master’s Guide, a Dungeons & Dragons rulebook published in 1983.
Frame membeku dari adegan ini ditampilkan mirip dengan lukisan Jeff Easley di sampul buku Dungeon Master’s Guide, buku peraturan permainan Dungeons & Dragons yang terbit tahun 1983.
“So without further ado,” Anorak announces, “let the hunt for Hal- liday’s Easter egg begin!” Then he vanishes in a flash of light, leaving the viewer to gaze through the open doorway at the glittering mounds of treasure that lay beyond.
“Jadi, tanpa banyak omong lagi,” Anorak mengumumkan, “mulailah pemburuan Easter egg Halliday!” Kemudian ia menghilang dalam kilasan cahaya, meninggalkan penonton memandang melalui ambang pintu ke arah gundukan harta berkilau yang ada di baliknya.
Then the screen fades to black.
Lalu layar berubah menjadi gelap.
. . .
At the end of the video, Halliday included a link to his personal website, which had changed drastically on the morning of his death. For over a de- cade, the only thing posted there had been a short looping animation that showed his avatar, Anorak, sitting in a medieval library, hunched over a scarred worktable, mixing potions and poring over dusty spellbooks, with a large painting of a black dragon visible on the wall behind him.
Di akhir video, Halliday menyertakan tautan ke situs web pribadinya yang telah berubah drastis pada pagi hari kematiannya. Selama satu dekade, satu-satunya yang ada di situs web-nya hanya sebuah pengulangan animasi pendek yang menampilkan Anorak, duduk di perpustakaan abad pertengahan, membungkuk di atas meja kerja penuh coretan, mencampur ramuan-ramuan dan meneliti buku mantra berdebu, dengan sebuah lukisan besar seekor naga hitam terlihat di dinding di belakangnya.
But now that animation was gone, and in its place there was a high- score list like those that used to appear in old coin-operated videogames. The list had ten numbered spots, and each displayed the initials JDH— James Donovan Halliday—followed by a score of six zeros. This high- score list quickly came to be known as “the Scoreboard.”
Namun sekarang animasi itu hilang, digantikan oleh daftar skor tinggi seperti yang biasa muncul di permainan video ding-dong. Daftar itu punya titik-titik berangka sepuluh dan masing-masingnya menayangkan inisial JDH— James Donovan Halliday—diikuti oleh sebuah skor terdiri dari enam buah angka nol. Daftar skor tinggi ini dengan cepat dikenal sebagai “Papan Skor”.
Just below the Scoreboard was an icon that looked like a small leather- bound book, which linked to a free downloadable copy of Anorak’s Al- manac, a collection of hundreds of Halliday’s undated journal entries. The Almanac was over a thousand pages long, but it contained few details about Halliday’s personal life or his day-to-day activities. Most of the entries were his stream-of-consciousness observations on various classic videogames, science-fiction and fantasy novels, movies, comic books, and ’80s pop culture, mixed with humorous diatribes denouncing everything from organized religion to diet soda.
Tepat di bawah Papan Skor ada ikon yang terlihat seperti buku kecil bersampul kulit yang terkait dengan sebuah salinan Almanak Anorak yang bisa diunduh secara bebas. Karya itu adalah kumpulan ratusan entri jurnal tanpa tanggal milik Halliday. Almanak panjangnya lebih dari seribu halaman, tetapi hanya berisi sedikit detail kehidupan pribadi Halliday atau aktivitasnya sehari-hari. Sebagian besar entri tersebut adalah hasil pengamatan dari arus kesadarannya akan berbagai permainan video klasik, novel-novel fiksi ilmiah dan fantasi, film-film, berbagai buku komik, dan kebudayaan pop tahun 1980-an yang dicampur kritikan jenaka yang mencela segala sesuatu mulai dari agama yang terorganisir sampai soda diet.
The Hunt, as the contest came to be known, quickly wove its way into global culture. Like winning the lottery, finding Halliday’s Easter egg be- came a popular fantasy among adults and children alike. It was a game anyone could play, and at first, there seemed to be no right or wrong way to play it. The only thing Anorak’s Almanac seemed to indicate was that a familiarity with Halliday’s various obsessions would be essential to finding the egg. This led to a global fascination with 1980s pop culture. Fifty years after the decade had ended, the movies, music, games, and fashions of the 1980s were all the rage once again. By 2041, spiked hair dan acid-washed jeans were back in style, and covers of hit ’80s pop songs by con temporary bands dominated the music charts. People who had actually been teenagers in the 1980s, all now approaching old age, had the strange experience of seeing the fads and fashions of their youth embraced and studied by their grandchildren.
Pemburuan, nama yang lebih dikenal untuk kontes itu, dengan cepat menjadi kebudayaan global. Seperti memenangkan undian, menemukan Easter egg Halliday menjadi fantasi populer di kalangan orang dewasa dan anak-anak. Itu merupakan permainan yang bisa dimainkan siapa pun, dan awalnya, tampaknya tidak ada cara yang benar atau salah untuk memainkannya. Satu-satunya yang ditunjukkan oleh Almanak Anorak adalah, keakraban dengan berbagai macam obsesi Halliday akan jadi hal penting untuk menemukan Easter egg. Hal ini membawa dunia menuju ketertarikan pada budaya pop tahun 1980-an. Lima puluh tahun setelah dekade tersebut berakhir, film-film, musik, permainan, dan mode busana era 1980-an digemari lagi. Mulai 2041, gaya rambut spike dan celana jin acid-washed kembali jadi tren, dan sampul album lagu-lagu pop terkenal tahun 1980-an oleh grup musik kontemporer mendominasi tangga musik. Para remaja tahun 1980-an yang sekarang menjelang usia tua, merasa aneh melihat kegemaran dan gaya pakaian masa muda mereka dianut dan dipelajari cucu-cucu mereka.
A new subculture was born, composed of the millions of people who now devoted every free moment of their lives to searching for Halliday’s egg. At first, these individuals were known simply as “egg hunters,” but this was quickly truncated to the nickname “gunters.”
Cabang kebudayaan baru pun lahir, terdiri dari jutaan orang yang mengabdikan setiap waktu bebas dalam hidup mereka untuk mencari Easter egg Halliday. Awalnya, individu-individu ini hanya dikenal sebagai “egg hunter” atau pemburu Easter egg, tetapi dengan cepat berubah menjadi “gunter.”
During the first year of the Hunt, being a gunter was highly fashion- able, and nearly every OASIS user claimed to be one.
Sepanjang tahun pertama Pemburuan, menjadi gunter membuat seseorang dianggap sangat keren, dan hampir setiap pengguna OASIS mengaku sebagai gunter.
When the first anniversary of Halliday’s death arrived, the fervor surrounding the contest began to die down. An entire year had passed and no one had found anything. Not a single key or gate. Part of the problem was the sheer size of the OASIS. It contained thousands of simulated worlds where the keys might be hidden, and it could take a gunter years to conduct a thorough search of any one of them.
Ketika tahun pertama peringatan kematian Halliday tiba, semangat yang melingkupi kontes ini mulai surut. Satu tahun telah berlalu dan tidak ada orang yang menemukan apa pun. Tidak satu kunci atau gerbang pun. Sebagian masalahnya adalah ukuran OASIS semata. OASIS terdiri dari ribuan dunia simulasi tempat kunci-kunci tersebut kemungkinan tersembunyi dan seorang gunter akan memakan waktu bertahun-tahun melakukan pencarian menyeluruh.
Despite all of the “professional” gunters who boasted on their blogs that they were getting closer to a breakthrough every day, the truth gradu- ally became apparent: No one really even knew exactly what it was they were looking for, or where to start looking for it.
Meski semua gunter “profesional” membual di blog-blog mereka bahwa setiap hari mereka semakin mendekati kemenangan, semakin lama kebenarannya menjadi jelas: Tidak seorang pun yang sungguh-sungguh mengetahui apa yang mereka cari sebenarnya, atau di mana mereka bisa mulai mencarinya.
Another year passed.
Satu tahun lagi berlalu.
And another.
Dan lagi.
Still nothing.
Tetap nihil.
The general public lost all interest in the contest. People began to as- sume it was all just an outlandish hoax perpetrated by a rich nut job. Oth- ers believed that even if the egg really did exist, no one was ever going to find it. Meanwhile, the OASIS continued to evolve and grow in popularity, protected from takeover attempts and legal challenges by the ironclad terms of Halliday’s will and the army of rabid lawyers he had tasked with administering his estate.
Masyarakat umum kehilangan minat pada kontes itu. Orang-orang mulai berasumsi semua ini hanya kebohongan aneh yang dilakukan jutawan kaya. Beberapa orang percaya bahwa meski Easter egg benar-benar ada, tidak ada yang akan menemukannya. Sementara itu, OASIS terus berkembang dan tumbuh dalam popularitas, terlindung dari usaha-usaha pengambilalihan dan tantangan-tantangan hukum dari isi wasiat Halliday yang ketat dan pasukan pengacara fanatik yang ditugaskannya untuk menata usaha kekayaannya.
Halliday’s Easter egg gradually moved into the realm of urban legend, and the ever-dwindling tribe of gunters gradually became the object of ridicule. Each year, on the anniversary of Halliday’s death, newscasters jokingly reported on their continued lack of progress. And each year, more gunters called it quits, concluding that Halliday had indeed made the egg impossible to find.
Easter egg Halliday perlahan berubah menjadi legenda kota dan kelompok gunter yang semakin berkurang jumlahnya secara bertahap menjadi objek olokan. Setiap tahun, pada hari peringatan kematian Halliday, pembawa berita melaporkan perkembangan gunter yang lambat sambil berkelakar. Setiap tahun, lebih banyak gunter yang menyerah, menyimpulkan bahwa Halliday memang menciptakan Easter egg yang mustahil ditemukan.
And another year went by.
Dan tahun lainnya berlalu.
And another.
Dan lagi.
Then, on the evening of February 11, 2045, an avatar’s name appeared at the top of the Scoreboard, for the whole world to see. After five long years, the Copper Key had finally been found, by an eighteen-year-old kid living in a trailer park on the outskirts of Oklahoma City.
Kemudian pada malam tanggal 11 Februari 2045, sebuah nama avatar muncul di atas Papan Skor, disaksikan seluruh orang di dunia. Setelah lima tahun, Kunci Tembaga akhirnya ditemukan oleh seorang bocah laki-laki berusia delapan belas tahun yang hidup di parkiran rumah gandengan di pinggir kota Oklahoma.
That kid was me.
Anak itu adalah aku.
Dozens of books, cartoons, movies, and miniseries have attempted to tell the story of everything that happened next, but every single one of them got it wrong. So I want to set the record straight, once and for all.
Berlusin-lusin buku, kartun, film, dan mini seri mencoba mengungkap cerita tentang semua yang terjadi setelah penemuan itu, tetapi tidak ada satu pun yang benar. Jadi, aku ingin meluruskan semua cerita itu, sekali dan untuk selamanya.
Gimana, seru kan prolognya? Nggak sabar ingin baca versi terjemahan sebukunya! Mudah-mudahan ada penerbit yang tertarik atau sedang dalam proses penerbitannya. Boi, novel ini juga sedang proses adaptasi layar lebar dan disutradarai Steven Spielberg, lho. Layak banget untuk diterjemahkan 🙂 *finger cross